Saya ingin melanjutkan analisa Rocky Gerung soal Jokowi. Sebenarnya, PHP terhadap Prof. Mahfudz MD ini bukanlah sekedar perkara immoralitas dan kelemahan Jokowi sebagai presiden, namun lebih jauh lagi, pengakuan Prof. Mahfudz MD telah membuka kedok Jokowi sebagai "wong ndeso".
-
Mitos yang dibangun para pendukungnya selama ini, Jokowi adalah "wong ndeso" (orang desa), dalam arti "sederhana" dan "apa adanya". Bagi para oposan, "wong ndeso" ini diartikan dengan agak kasar, "plonga-plongo". Tapi, sorry to say, cerita Prof. Mahfudz MD semalam membuat kita harus mengakui narasi kasar oposan itulah yang tepat! Plonga-plongo, sebuah keadaan dimana seseorang tidak memahami situasi tertentu dan sangat membutuhkan bimbingan orang lain.
-
Timses sejak awal menutupi segala kekurangan Jokowi yang bersumber dari keplonga-plongoan beliau dengan narasi-narasi hiperbolik. Contoh yang paling menggelikan adalah, "dapat wahyu dari Tuhan", "Jokowi mirip Umar bin Khatab" dan "Jokowi mirip Nabi Ayub". Tujuannya tidak sekedar menutupi kekurangan, namun menciptakan fanatisme terhadap Jokowi agar kritisisme terhambat, dan perbuatan jahat sekelompok orang dapat disembunyikan.
-
Dengan disandingkannya jokowi dengan orang-orang suci setara Nabi dan Sahabat, maka terciptalah fantasi di benak masyarakat bahwa banyaknya koalisi parpol yang merapat, disebabkan karena kehebatan Jokowi. Itu mitos nya!
-
Padahal, jika kita dengarkan baik-baik pemaparan Prof.Mahfudz MD semalam, mudah disimpulkan bahwa Jokowi adalah presiden yang lemah, dan selama ini dikendalikan oleh parpol koalisi. Jadi, yang terjadi sebenarnya, banyak parpol-parpol merapat karena ingin mengendalikan Jokowi. Saat ini, dia bukan lagi petugas partai PDI-P, namun petugas Partai Koalisi.
-
Inilah kejahatannya, begal politik! Modusnya adalah mematikan nalar masyarakat dengan menciptakan fantasi "wong ndeso" yang jujur dan apa adanya seperti para Nabi, sehingga mereka dengan bebas bisa mengendalikan kekuasaan dengan tangan presiden.
-
Kesan culas bak begal itu diceritakan oleh Prof.Mahfudz MD, bagaimana ormas Islam yang menjunjung tinggi moral saja bisa loose temper sampai mengancam-ancam segala. Saya membayangkan, keculasan yang terjadi di internal parpol koalisi yang bukan ormas keagamaan. Saya yakin lebih dahsyat!
-
Apakah Jokowi nyaman diatur-atur demikian? Saya yakin nyaman! Ditelisik dari sudut pandang psikologi kepribadian, Jokowi mungkin seorang yang submisif. Submisif adalah istilah kepribadian orang yang sangat membutuhkan petunjuk orang lain dalam hidupnya. Dia akan merasa nyaman jika ada yang mengaturnya, dan merasa kebingungan jika dibiarkan berinisiatif. Bahasa sehari-harinya, "manutan". Bahasa politiknya, ya "plonga-plongo" itu tadi!
-
Bagaimana tidak, nalar dan moral masyarakat sangat terganggu ketika Presiden dikatakan "petugas partai". Saat itu, partai yang dimaksud adalah PDI-P. Jika Presiden adalah petugas partai PDI-P, maka Indonesia adalah bagian dari PDI-P! Bukankah seharusnya semua partai itu adalah bagian dari Indonesia? Di sinilah nalar masyarakat dihina! Secara moral, presiden yang petugas partai itu bertanggung jawab kepada partainya, padahal dia dilipih langsung oleh rakyat. Seharusnya dia bertanggung jawab kepada rakyat! Di sinilah immoralitas-nya.
-
Tapi dalam situasi demikian, Jokowi justru terlihat nyaman. Beberapa kali konferensi pers, ketika ditanya tentang sesuatu yang krusial, contohnya soal wapres, beliau menjawab dengan tersenyum "terserah Bu Mega". Seharusnya sebagai pemimpin tertinggi RI, dia punya harga diri yang tinggi! Malu diatur-atur oleh parpol! Paling tidak, tunjukkan lah kesan tidak suka ketika disebut petugas parpol. Harga diri ini pernah ditunjukkan secara gagah oleh GusDur ketika dipaksa partai koalisi bagi-bagi jabatan mentri! Beliau menolak, karena itu hak prerogatif presiden, katanya. Padahal GusDur yang memilih adalah parpol, bukan rakyat. Tapi itulah yang namanya harga diri. Seharusnya melekat pada jabatan. Dan karena itulah GusDur dilengserkan.
-
Tapi Jokowi tidak memiliki itu. Kesadaran Jokowi bukan presiden, tapi petugas partai, jadi tidak mungkin kita mengharapkan self-esteem yang tinggi di hadapan parpol, apalagi dihadapan pemimpin negara lain.
-
Jadi, pernyataan Prof.Mahfudz MD menunjukkan makna "wong ndeso" yang disembunyikan selama ini. "wong ndeso" bukan lah orang yang jujur, sehingga perilakunya berani seperti sayyidina Umar. Bukan juga orang yang sabar dan apa adanya seperti Nabi Ayyub. Tapi "wong ndeso" dibongkar oleh Prof.Mahfudz MD sebagai "plonga plongo". Seperti ejekan "ndeso" kepada orang yang tidak tahu apa-apa dan mudah dipermainkan orang lain.
-
Prof.Mahfudz MD bukan orang bodoh, beliau paham betul kalau koalisi Jokowi sangat memuja elektabilitas. Prof. Mahfudz pun tahu, pengakuannya di ILC akan menghancurkan elektabilitas Jokowi. Lalu kenapa beliau lakukan itu? Bagi saya, inilah cara orang pintar membalas penghinaan terhadap dirinya.
-
Selamat berjuang 100 jurkamnas Jokowi, kalian punya tugas berat sekarang!
cc: Achmad M. AkungCopas
0 Komentar