Teknologi Juga Membunuh Kita (Kritik Untuk Airlangga Hartarto)

Hingga tahun 90an, BUMN terbesar dan tergemuk labanya adalah PT Telkom. Ia, PSTN, gulung tikar oleh teknologi. Yaitu akibat berkembangnya VOIP (Voice Over Internet Protokol), yaitu telepon internet, sebuah teknologi canggih yang menumpang pada bandwich 70 ke atas di saluran besar backbone tulang ikan.

Jika VOIP diperkenankan, Telkom segera bangkrut dalam hitungan hari, khususnya PSTN, jaringan telepon coaxial. Saat itu ada 2400 warnet yang bisa mengoperasikan VOIP yang menumpang di jaringan PSTN Telkom. Selain itu VOiP dengan pemancar kecil super hispeed VSAT (very small apperture terminal).

Yang jadi soal yang menumpang di PSTN. Dua operator VOIP di Bandung dan Surabaya ditangkap polisi atas laporan PT Telkom. Tuduhannya: mencuri pulsa!

Itulah kejahatan terbesar yang dilakukan negara sepanjang 1990an: VOIP mencuri pulsa PSTN! Bohong besar. Tapi itulah pula beleid satu-satunya untuk menyelamatkan Telkom.

Sejak itu, pengembangan teknologi internet jalan mundur. Demi kebohongan tadi! Sebab, VOIP tidak mencuri pulsa. VOIP hanya menumpang elektromagnetik pada bandwith 70 meter tanpa ada sebiji pun pulsa yang terpakai.

Sejak penangkapan VOIP oleh polisi, Warnet PSTN tak berkembang. Tapi Telkom selamat.

Tak hanya Telkom. Juga, Indosat yang belum dilegol ke Singtel waktu itu, ikut selamat.

Telkom dan Indosat adalah BUMN pemegang hak monopoli FNSP (Full Network Service Provider). Telkom memonopoli PSTN, Indosat memonopoli nirkabel. Indosat sebenarnya diberi kebijakan jaringan membangun super hiway yang dicanangkan Presiden Bill Clinton. Telkom membangun jaringan 2 dan 2,5 G (serat optik), antara lain Pasopati (jaringan cepat fibre optik).

Tapi belakangan diketahui, bahwa Indosat membangun jaringan 2,5 lebih banyak, dan tak membangun jaringan nirkabel. Pada data sebelum Indosat dilego ke Singtel, 96% komunikasi Indosat adalah sub cabel marine 2,5. Artinya, hanya kurang 4% jaringan maya.

Untunglah ada monopoli NSFP itu, sehingga kemajuan teknologi bisa dihambat. Jika tidak, negara ini sudah lama masuk ke revolusi keempat yang dikemukakan Denny JA itu, generasi milenial yang bebas nilai yang mengabdi kepada kecepatan.

Penjualan Indosat ke Singtel secara hukum bisa dibatalkan karena terjadi korupsi pada saat transaksi, yakni tidak dimasukkannya pembayaran dua aktiva satelit Palapa: (i) titik orbit dan (ii) uang sewa selama waktu antre.

Internet masuk Indonesia 1987. Saya berlatih di Pusilkom Universitas Indonesia di Salemba. Server mereka jenis super computer bermerk Fairfax. Untuk terhubung ke Internet, tilpon dulu ke Australia, tempat domain (DNS) router tersimpan. Di situ pula saya pertama kalinya memakai IBM 400, server dekstop pertama di dunia setelah sistem mainframe.

Tampang internet di monitor belum berwarna, belum ada gincunya (HTML), database Yahoo belum XML yang membuat laman hanya 1,5, softwarenya masih sejenis WS4, awal Microsoft. Tak ada yang mengira itu akan mengubah dunia secara sangat cepat, lebih cepat daripada anda berlari. Masa itu juga disebut revolusi AI (artificial intelligence) yang diajar bicara di Lembah Silicon yang sama oleh para ahli dari Carnegie Mellon, MIT, dan Princeton. Tak ada yang baru, kecuali kemunduran yang kita buat sendiri, tadi itu.

Pada akhirnya, setelah reformasi, monopoli habis, PSTN bangkrut, dan ribuan satelit komunikasi geostation mengorbit dengan tarif sangat murah di atas langit kita, tapi kita masih tetap butuh VOIP hingga kini untuk menurunkan tarif pulsa. Sejumlah raksasa tumbang, termasuk IBM dan Super Computer.

Jadi mulailah menghitung, siapa saja korporasi raksasa yang bakal tumbang oleh ide kreatif revolusi keempat Airlangga Hartarto tadi. Jangan lihat revolusinya, tapi apa yang direvolusi. Ada baiknya Denny JA tentang Revolusi Keempat saya kutipkan tulisannya, sbb:

Airlangga dan Revolusi Industri Keempat

Berulang saya baca lagi berita yang unik itu. Pertama kali dalam sejarah manusia, sebuah robot sangat cerdas diresmikan menjadi warga negara (citizen)  sebuah negara. Sophie nama robot itu. Arab Saudi yang memberinya status terhormat warga negara.

Robot wanita bernama Sophie itu berpidato di depan panel di Ryad Arab Saudi. Mungkin karena robot, ia tak memakai hijab selayaknya wanita warga negara umumnya di Arab Saudi.

Robot cerdas itu bercanda. Ketika panel ahli meminta pendapat bahwa robot berbahaya bagi kelangsungan species manusia asli: homo sapiens, ia tertawa. Sophie berkomentar santai kepada team ahli. Ujarnya, anda terlalu banyak menonton film hollywood.

Menyimak Sophie, menyimak zaman baru.

Betapa peradaban sudah berubah. Kita memasuki revolusi industri keempat, yang bersandar pada artificial inteligence, robot, internet of things, virtual community, nano technology, 3D-printing, bio technology, Chripto currency, dan aneka istilah yang kita belum terlalu akrab.

Sayapun hilang dalam keasyikan eksplorasi dunia internet. Sungguh saya ingin tahu lebih jauh: seberapa dalam revolusi industri keempat menyentuh indonesia. Sampailah saya pada Airlangga Hartarto, menteri perindustrian dan kini ketua umum Golkar.

Berita 5 Maret 2018, Airlangga Hartarto menghadiri wisuda Universitas Muhammadiah Malang (UMM) ke -86. Tak banyak yang tahu, ternyata team robot universitas ini menang kontes internasional pada Conity College Fire Fighting Home Robot Contest di Amerika Serikat.

Putra putri Indonesia ternyata tak kalah soal robot. Bertanya saya dalam hati. Apakah tak lama lagi akan lahir Sophie, robot cerdas, ala Indonesia?

Dalam acara itu, Airlangga Hartarto hadir sebagai menteri industri. Ia singgung pula data yang mungkin belum banyak publik Indonesia sadar. Betapa sebagai negara industri, Indonesia kini masuk dalam rangking 10 besar tingkat dunia. Indonesia sejajar dengan Inggris dan Brazil, bahkan di atas Rusia. Sumbangan sektor industri kepada ekonomi nasional lebih dari 20 persen.

Airlangga Hartarto bahkan melangkah lebih jauh. Ia mencanangkan empat langkah strategis membawa Indonesia masuk ke dalam revolusi industri ke empat.

Pertama, IOI (Internet of things). Sebanyak mungkin indonesia perlu melibatkan industri agar terintegrasi dengan internet. Ini era yang semakin lama dunia terhubung dalam koneksi internet.

Tak hanya ada smart phone atau smart city, tapi juga smart labour. Semakin banyak pekerja yang mendaya gunakan fasilitas yang tersedia karena hadirnya peradaban internet.

Kementriannya menginisiasi pendidikan advokasi, sehingga tercipta link and match antara SMK dan industri. Ia menyiapkan tenaga kerja yang terampil, fasih dengan perkembangan baru, satu juta orang hingga 2019.

Kedua, tak hanya industri skala besar, bahkan industri skala kecil dan menengah (IKM) disiapkan masuk ke era itu. Kementriannya menyiapkan E-Smart IKM memperluas jaringan dan mempermudah IKM bahkan ke dunia ekspor.

Ketiga, ini era Big Data, Robot Otomatis, Cybersecurity, Cloud, Augmented Reality, dan aneka istilah teknologi super canggih lain. Teknologi ini bisa menghemat biaya produksi hingga 12-15 persen.

Yang istimewa, kehadiran teknologi tinggi  tetap menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar (labour intensive). Itu sudah ditunjukan dalam usaha industri makanan dan minuman.

Keempat, memgembangkan tempat inkubasi bisnis, start up, dan technopark di beberapa wilayah Indonesia. Antara lain: Bandung Technopark, Tohpati Center (Denpasar), Incubator Business Center Semarang, Makasar Techno Park.

Aneka lokasi itu memfasilitasi dan mensimulasi lingkungannya. Siapapun yang tergerak dalam start up business, yang ingin memulai usaha, dan terhubung dengan revolusi industri keempat dapat menggunakannya.

Lama saya merenungi empat strategi yang diperkenalkan Airlangga Hartarto. Jika berhasil, Airlangga tak hanya menjalankan kerja seorang menteri bagi pemerintahan Jokowi.

Airlangga memberikan efek lebih jauh. Ini adalah kerja peradaban. Airlangga akan dikenang ikut menumbuhkan dan menyebar benih revolusi indutri keempat ke dalam evolusi budaya Indonesia.

Adakah efek elektoral dari kerja ini? Demikianlah pertanyaan siapapun yang juga peka dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden 2019. Apapun kerja besar di hari hari ini tetap akan diekspor efek elektoralnya.

Tentu saja Airlangga mengerjakan empat strategi itu bukan dalam kapasitasnya sebagai ketua umum Golkar. Namun dalam opini publik, apapun yang melambungkan Airlangga, akan pula melambungkan lingkungannya. Sebaliknya, apapun yang menjatuhkan Airlangga, akan pula menjatuhkan lingkungannya.

Ini  era generasi milenial. Para ahli mendefinisikan generasi ini untuk mereka yang tumbuh remaja dan dewasa ketika datangnya era digital. Batas tahun lahir generasi ini di tahun 1982.

Secara elektoral, ini usia pemilih dari 17 tahun hingga 37 tahun. Total jumlah mereka sekitar 40 persen dari total pemilih. Mereka adalah generasi yang peka teknologi tinggi. Dibanding generasi sebelumnya, mereka lebih antusias pada revolusi industri ke empat.

Ke depan, generasi ini akan dominan. Siapun yang bisa mengambil hati generasi ini akan menguasai pemilu Indonesia.

Menjawab pertanyaan itu, jika empat strategi Airlangga itu berhasil, tentu saja punya efek elektoral tak hanya pada Airlangga pribadi. Efeknya juga terasa pada Jokowi, bahkan Partai Golkar. Efek itu lebih terasa pada segmen pemilih milenial.

Tapi peradaban tak hanya soal pemilu. Membawa teknologi tinggi untuk memajukan bangsa, itu yang utama. Efek paling dalam dan lebih penting tentu tak hanya terbatas pada efek elektoral, tapi efek kesejahteraan publik dan kemajuan peradaban.

Selamat datang revolusi industri keempat. Teruslah membesar, walau beberapa wilayah Indonesia bahkan belum tuntas pula dengan revolusi industri yang pertama.

By Djoko Edhi Abdurrahman (Anggota Komisi Hukum DPR 2004 - 2009, Wakil Sekretaris Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, PBNU).

Posting Komentar

0 Komentar