Tak seperti hari ini, puluhan tahun lalu pergi haji bukan perkara mudah. Tak ada pesawat dengan kursi-kursi empuk yang nyaman. Tak ada pemondokan yang layak atau pembinaan haji yang baik.
Zaman dahulu, mereka yang ingin naik haji harus naik kapal layar. Harus rela terombang-ambing di lautan hingga berbulan-bulan dan rentan oleh serangan bajak laut. Sebuah perjalanan yang bukan tidak mungkin membahayakan nyawa mereka. Namun, hal itu tak jadi masalah, asalkan bisa memenuhi panggilan Allah SWT ke Tanah Suci.
Di Indonesia, pergi berhaji sudah dilakukan sejak abad ke-15. Sejarawan M Shaleh Putuhena dalam bukunya "Historiografi Haji Indonesia" menulis, pada 1503 sudah ada kapal pribumi yang berlayar mengarungi lautan luas hingga akhirnya berlabuh di Jazirah Arab untuk mengantarkan para tamu Allah menunaikan rukun Islam kelima. Artinya, jauh sebelum kedatangan kapal dagang Portugis, kegiatan berhaji telah dilakukan oleh Muslim nusantara.
"Mereka adalah para pedagang dan pelayar yang berlabuh di Jeddah sambil menyempatkan diri menunaikan ibadah haji," tulis Shaleh. Pelayaran untuk melaksanakan ibadah haji terus dilakukan pada tahun-tahun berikutnya, bahkan ketika Portugis sampai ke Indonesia dan menjajah Tanah Air pada 1512. Jumlah mereka pun meningkat setiap tahunnya. Mereka tak peduli meski Portugis membatasi ruang gerak mereka.
Sejarawan lainnya bahkan mengungkapkan bahwa ibadah haji sudah dilakukan oleh umat Islam Indonesia sejak abad ke-13. Sejarawan Dadan Wildan Anas, misalnya, menyatakan berdasarkan naskah Carita Parahiyangan, pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah Bratalegawa, putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora penguasa kerajaan Galuh (1357-1371).
Bratalegawa adalah seorang saudagar dan sering melakukan pelayaran ke Sumatra, Cina, India, Srilanka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang Muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini, Bratalegawa memeluk Islam. Bratalegawa juga dikenal sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah haji di Kerajaan Galuh. Ia mendapat sebutan Haji Purwa.
Pada 1671, Sultan Ageng Tirtayasa yang memimpin Banten saat itu mengirimkan putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Makkah untuk menemui Sultan Makkah. Selain melaksanakan pertemuan tersebut, Sultan Abdul Kahar pun melaksanakan ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke Turki. Sekembalinya ke Tanah Air, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji.
Sejak permulaan abad ke-16 kapal niaga nusantara mulai mengambil alih dan menggantikan kapal niaga asing. Kasim Ahmad dalam bukunya ''Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan dan ke Jeddah'' menyatakan, kesultanan-kesultanan nusantara telah memiliki armada perdagangan internasional. Ketika itu Jawa, terutama Jepara, telah memiliki industri kapal niaga yang memproduksi kapal-kapal besar. Kapal-kapal itu melayari jalur perdagangan Samudra Hindia dan tidak langsung ke Jazirah Arab. Terlebih dahulu, mereka menyinggahi berbagai pelabuhan di nusantara hingga akhirnya tiba di Aceh. Di Aceh inilah, biasanya para pedagang dan pelayar dari nusantara itu menunggu kapal lain ke India.
Setiba di India, mereka mencari kapal yang bisa membawa ke Hadramaut, Yaman, atau langsung ke Jeddah. Perjalanan ini bisa makan waktu setengah tahun sekali jalan, bahkan lebih. Oleh sebab itu, perjalanan haji tidak dapat ditentukan berapa lamanya dan tidak dapat ditentukan kapan mereka pulang ke Tanah Air.
0 Komentar