Kata MUI soal Gugatan Larangan Perkawinan dengan Teman Sekantor

Majelis Ulama Indonesia (MUI) tak setuju dengan aturan perkawinan dengan teman sekantor dalam Pasal 153 Ayat 1 huruf f undang-undang Ketenagakerjaan. 

Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa'adi menilai pasal tersebut tidak memberikan perlindungan pada pekerja atau buruh. Aturan itu justru lebih menguntungkan perusahaan. 

"Jadi, menurut saya ketentuan yang diatur dalam Pasal 153 ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan ini pasal karet, yang semangatnya tidak memberikan perlindungan kepada pekerja atau buruh tapi lebih berpihak kepada pemilik perusahaan. 
Pada posisi tersebut pihak karyawan atau buruh yang dirugikan," kata Zainut, Kamis (18/5/2017) malam.

Dalam segi agama, menurut dia, tak ada larangan menikah dengan teman sekantor. Namun jika teman sekantor mempunyai hubungan keluarga dilarang menikah. 

"Kalau dari segi agama tidak ada larangan menikah dengan teman sekantor sepanjang keduanya tidak ada hubungan nasab yang mengharamkannya," ujar dia.

"Justru aturannya memberikan perlindungan terhadap pekerja atau buruh yang memiliki pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja atau buruh lainnya di dalam satu perusahaan. Hanya saja pasal ini ada pengecualiannya jika ada perjanjian kerja, peraturan perusahaan ketentuan tersebut di atas menjadi batal. Jadi perjanjian kerja atau kontrak kerja pada akhirnya yang menentukan boleh tidaknya seorang pekerja atau buruh memiliki ikatan pernikahan dengan teman sekantornya," jelas dia. 

Aturan perkawinan dengan teman sekantor akhirnya digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Aturan itu dalam Pasal 153 Ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan. Pasal itu berbunyi:

Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal itu menjadi dasar hukum bagi perusahaan membuat perjanjian kerja yang melarang sesama karyawan menikah. Tidak terima dengan peraturan itu, delapan karyawan swasta menggugat Pasal 153 Ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan ke MK.

"Bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 27 Ayat 2, Pasal 28 Ayat 1, Pasal 28C Ayat 1, Pasal 28D Ayat 2," kata pemohon, Jhoni Boetja, sebagaimana dikutip dari website MK, Selasa (16/5/2017).

Pemohon menilai Pasal 153 Ayat 1 huruf f UU Ketenagakerjaan menjadi alasan bagi pengusaha untuk melarang perkawinan sesama pekerja dalam suatu perusahaan yang sama. Padahal menikah adalah melaksanakan perintah agama.

"Di mana jodoh dalam perkawinan tidak bisa ditentang disebabkan ikatan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita yang memiliki rasa saling mencintai sulit untuk ditolak," papar Jhoni.

Posting Komentar

0 Komentar