Dampak Pencabutan Banding Ahok

Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, pada Senin (22/5/2017) resmi mencabut memori banding terkait putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara yang menjatuhkan vonis dua tahun penjara dalam kasus penodaan agama. Keputusan itu diambil setelah pihak keluarga meminta tim penasihat hukum Ahok untuk mencabut memori banding tersebut.

Penasihat hukum Ahok, Fifi Lefy mengatakan sebenarnya pihaknya ingin terus mengupayakan keadilan untuk pria kelahiran Belitung Timur itu. Namun, setelah mempertimbangkan banyak hal, pihak keluarga meminta agar upaya pengajuan banding tersebut dicabut.

“Di satu sisi kami juga meminta pihak-pihak yang terus melakukan haknya yaitu mengajukan banding dan memasukkan memori banding, tapi pihak keluarga juga telah berdiskusi dan mempertimbangkan dan semua itu dituangkan di dalam surat yang pak Ahok tulis sendiri,” kata Fifi Lefy, di Menteng, Jakarta, Selasa (23/5/2017).

Fifi menambahkan, pihaknya memperhatikan perjuangan para relawan untuk kebebasan Ahok. Ia melihat para relawan telah berjerih payah berdoa, rela berpanas-panas untuk memperjuangkan agar Ahok tidak ditahan, bahkan bisa dibebaskan.

Namun, pihaknya juga sadar kalau perlu berpikir tentang kepentingan bangsa. Alhasil, lanjut Fifi, pihaknya memutuskan menerima keputusan yang telah dijatuhkan hakim. Fifi yang juga anggota keluarga Ahok mengucapkan terima kasih atas segala sikap yang dilakukan para relawan.

Penasihat hukum Ahok lainnya, I Wayan Sudirta mengatakan pencabutan memori banding menegaskan bahwa Ahok menerima vonis 2 tahun dalam kasus penodaan agama. Menurut Wayan, Ahok sempat emosi terhadap putusan hakim.
Namun, Ahok siap berdamai dan menerima keputusan hakim. Hal itu dilakukan semata-mata untuk kepentingan negara. Karena itu, lanjut I Wayan, Ahok memutuskan untuk menarik memori bandingnya.

“Sekali-kali untuk yang kepentingan rakyat dia mau mengalah betapapun pahitnya, betapapun beratnya,” kata Wayan.

Status Hukum Ahok

Dengan demikian, otomatis Ahok menerima hukuman penjara selama 2 tahun yang diganjarkan kepadanya. Artinya, jika sudah tidak ada lagi yang mengajukan upaya hukum terkait vonis Ahok tersebut, maka status hukumnya akan memiliki kekuatan tetap atau inkracht.

Namun dalam kasus ini, tidak hanya pihak Ahok yang mengajukan banding. Sebelumnya, Kejaksaan Agung juga menyatakan akan mengajukan banding terkait vonis yang dijatuhkan oleh PN Jakarta Utara itu. Hal tersebut ditegaskan oleh Jaksa Agung, HM Prasetyo pada 17 Mei lalu.

Saat itu, Prasetyo menegaskan bahwa upaya pengajuan banding dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) di perkara penistaan agama ini tidak bertujuan membela Ahok. Melainkan untuk mencari kebenaran hukum mengingat perbedaan isi vonis hakim dengan tuntutan jaksa.

“Kita hanya ingin mencari kebenaran materiil. Kita ingin meyakinkan siapa yang tepat dalam mendapat pasal-pasal itu,” kata Prasetyo.

Jaksa Belum Tentukan Sikap

Jaksa Agung, HM Prasetyo mengaku pihaknya sudah mendengar keputusan keluarga dan penasihat hukum Basuki Tjahaja Purnama tentang pencabutan memori banding. Prasetyo menilai hal itu wajar karena pencabutan memori banding adalah salah satu hak terdakwa. Ia mengatakan, kejaksaan menghormati keputusan pencabutan hak banding tersebut.

“Tentunya kita hormati dan hargai,” kata Prasetyo, di Kejagung, Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa (23/5/2017).

Prasetyo mengatakan, penarikan memori banding membuktikan bahwa Ahok menerima keputusan hakim. Mantan Bupati Belitung Timur itu mengakui dirinya bersalah dan sebagai penista agama.

Kejaksaan Agung sendiri belum bisa mengambil sikap setelah pencabutan memori banding Ahok. Ia mengaku Jaksa Agung telah berbicara dengan jaksa untuk sikap setelah langkah Ahok. Namun, mereka menunggu hasil kajian jaksa penuntut umum sebelum bersikap mencabut memori banding atau tetap melanjutkan upaya banding tersebut.

“Jaksa yang mengajukan banding kan melakukan pengkajian tentang relevansi dan urgensinya upaya hukum banding yang diajukan JPU,” tutur Prasetyo.

Kini kasus Ahok bergantung pada putusan atas banding yang diajukan oleh Kejaksaan. Jika jaksa ikut mencabut bandingnya, maka vonis Ahok langsung berkekuatan hukum tetap atau inkracht, dan Ahok menjadi terpidana.

Dampak bagi Djarot Saiful Hidayat

Tak hanya itu, keputusan mencabut upaya banding juga akan berimplikasi terhadap status Ahok yang dinonaktifkan sementara dari jabatan gubernur DKI, serta status Djarot Saiful Hidayat yang saat ini menjabat sebagai Plt Gubernur DKI Jakarta.

Artinya, jika status hukum Ahok telah berkekuatan hukum tetap, maka Ahok dapat diberhentikan dari jabatan kepala daerah secara permanen, dan Djarot Saiful Hidayat sebagai wakil gubernur yang saat ini menjadi Plt Gubernur bisa diangkat sebagai Gubernur DKI Jakarta definitif.

Hal tersebut sesuai dengan UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang mengatur bahwa kepala daerah bisa diberhentikan secara permanen apabila status hukumnya telah inkracht.

“Apabila gubernur berhenti sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan pengisian jabatan gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan kepala daerah,” demikian bunyi Pasal 87 ayat (1) UU Pemda.

Namun, jika status hukum Ahok belum berkekuatan hukum tetap, maka Djarot belum bisa diangkat sebagai gubernur definitif.

“Prinsipnya selama putusan belum inkracht, belum bisa Djarot diangkat secara definitif. Coba dicek dulu jaksa jadi banding apa tidak,” kata Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Gajah Mada (UGM), Dian Agung Wicaksono saat dihubungi Tirto, pada Selasa (23/5/2017).

Hukuman Ahok Bisa Tidak Sampai 2 Tahun

Sementara itu, ahli pidana dari Universitas Indonesia (UI) Nasrullah menjelaskan, pencabutan memori banding Ahok harus diikuti dengan pencabutan memori banding dari jaksa penuntut umum. Apabila tidak dicabut, perkara Ahok dinyatakan banding. Pengadilan Tinggi Jakarta pun bisa memroses perkara tersebut.

"Jadi misalnya pak ahok mencabut banding, jaksa banding, nanti tetap kebawa perkara itu ke pengadilan ke tingkat banding. Tetap diperiksa perkara ini," kata Nasrullah saat dihubungi, Selasa (23/5/2017).

Jika Ahok mencabut banding, langkah penasihat hukum untuk mengajukan penangguhan penahanan atau pengalihan status penahanan menjadi gugur. Ahok pun akan langsung dieksekusi dari rutan Mako Brimob ke Lapas yang ditunjuk pengadilan.
“Kalau dia menerima dia harus menjalani pidana dua tahun itu," kata Nasrullah.

Nasrullah mengatakan, Ahok akan menjalani proses pemidanaan begitu mengakui menerima vonis Majelis Hakim yang dipimpin mantan Ketua PN Jakarta Utara Dwiarso Budi Santiarto itu. Selama proses pemidanaan, Ahok bisa saja dihukum tidak selama 2 tahun penuh.

Menurut Nasrullah, pemerintah punya aturan pemberian remisi bagi mereka yang menjalani proses pemidanaan. “Nggakharus 2 tahun tapi dia dihukum terlebih dahulu untuk memenuhi pembebasan bersyarat," kata Nasrullah.

Nasrullah menjelaskan, remisi diberikan apabila narapidana berperilaku baik selama ditahan. Setiap tahanan mendapat setidaknya 2 kali remisi dalam 1 tahun. Remisi pertama adalah pada saat hari raya kemerdekaan sementara kedua diberikan pada saat hari raya keagamaan seperti Natal atau Lebaran.

Selain remisi, Ahok bisa mendapatkan pembebasan bersyarat. Hal itu baru bisa diperoleh apabila Ahok sudah menjalani 2/3 dari total hukuman pidana Ahok. Dengan kata lain, mantan Bupati Belitung Timur itu bisa dipenjara tidak sampai satu setengah tahun dan sudah bisa menghirup udara bebas sekitar 12 bulan.‎

"Setahun lah," kata Nasrullah.

Akan tetapi, Nasrullah mengingatkan kalau kewenangan tersebut tidak bisa diberikan apabila status hukum Ahok belum inkracht.Dengan kata lain, mereka harus menunggu kejaksaan mencabut memori banding di pengadilan tinggi. Selama itu, hukuman Ahok akan terus berjalan.

“Selama jaksa penuntut umum belum mencabut memori banding, perkara masih berjalan dan pak ahok belum berhak mendapat remisi," kata Nasrullah.

Posting Komentar

0 Komentar