Menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susanas) di pedesaan tahun 2011-2015 menunjukkan bahwa belanja rokok menempati urutan kedua setelah belanja beras. Data juga menunjukkan, pengeluaran tembakau 3,2 kali lebih banyak dibanding untuk membeli telur dan susu.
Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, mengungkapkan, rata-rata pengeluaran untuk tembakau pun lebih tinggi pada penduduk miskin.
"Orang terkaya di Indonesia karena disumbang oleh orang miskin yang merokok," kata Hasbullah saat dihubungi, Senin (6/3/2017).
Hasbullah menuturkan, prevalensi merokok yang tinggi di kalangan kurang mampu disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan iklan rokok serta kurangnya edukasi mengenai bahaya rokok akhirnya mencoba merokok dan kecanduan.
"Setelah terjerat dengan rokok, tidak ada uang pun masih prioritaskan merokok daripada beli makanan lain," kata Hasbullah.
Hasbullah mengatakan, nikotin pada rokok dapat memicu pelepasan dopamin yang memberikan efek bahagia sehingga lupa dengan kesulitan yang tengah dihadapi. Namun, alasan itu tak dapat dibenarkan untuk tetap merokok.
"Harusnya bukan dibiarin, tapi dibantu untuk tidak mencari jalan keluar dengan cara itu," jelas Hasbullah.
Merokok justru dapat membebani negara. Hasbullah mengatakan, penduduk jadi sakit-sakitan dan anak bisa putus sekolah karna ayahnya lebih memilih untuk mengeluarkan uang untuk membeli rokok.
0 Komentar