JAKARTA, KUPAS.CO.ID- Nampaknya kontroversi memang selalu mengiringi lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada awal tahun 2017 ini, Fatwa MUI kembali menjadi sorotan. Tulisan ini akan mengkaji dari masalah kedudukan MUI dan daya ikat Fatwa MUI ditinjau dari perspetif hukum ketatanegaraan Indonesia.
Jika ditinjau secara kelembagaan negara, maka MUI berada pada ranah kawasan infrastruktur politik. Infrastruktur politik sendiri adalah segolongan lembaga yang ada di dalam masyarakat. Berada di tengah masyarakat dan merupakan denyut jantung kehidupan sosio-kultural masyarakat. Infrastrukutr lebih berada di ruang-ruang pemberdayaan masyarakat sehingga actionnya hanya dapat dilihat dengan cara mendalami masyarakat tersebut.
Pada sektor ini terdapat berbagai kekuatan dan persekutuan politik rakyat. Dari sekian banyak kekuatan politik rakyat, yang terpenting adalah partai politik, golongan penekan, golongan kepentingan, tokoh politik, alat komunikasi politik, dan organisasi nonpemerintah. Termasuk di dalam organisasi nonpemerintah ini adalah LSM, NGO, organisasi kemasyarakatan dan sebagainya.
Sedangkan yang kedua adalah suprastruktur (the goverment political sphere). Yaitu suatu kehidupan politik pemerintahan, yang nampak dari luar, dikatakan nampak dari luar, karena suprastruktur dalam actionnya sangat terasa dan terlihat. Denyut kehidupan suprastruktur dapat dirasakan kasat mata oleh orang awan sekali pun. Sebab suprastruktur inilah yang mengurusi langsung hajat hidup orang banyak.
Pada sektor ini terdapat lembaga–lembaga negara yang mempunyai peranan dalam proses kehidupan politik (pemerintahan). Lembaga-lembaga negara yang dimaksud adalah lembaga negara yang dalam UUD 1945 diberi kekuasaan untuk menjalankan tugas dan fungsi negara. Antara lain adalah MPR, DPR, Presiden, DPD, MA, MK, KY.
Jika diamati dan dianalisa maka penulis berpendapat bahwa kedudukan MUI dalam ketatanegaraan Indonesia sebenarnya adalah berada dalam elemen infrastruktur ketatanegaraan. Sebab MUI adalah organisasi alim ulama umat Islam yang mempunyai tugas dan fungsi untuk pemberdayaan masyarakat/umat Islam.
Artinya MUI adalah organisasi yang ada dalam masyarakat, dan bukan merupakan institusi milik negara atau merepresentasikan negara. Artinya pula, Fatwa MUI bukanlah hukum negara yang mempunyai kedaulatan yang bisa dipaksakan bagi seluruh rakyat. Fatwa MUI juga tidak mempunyai sanksi dan tidak harus ditaati oleh seluruh warga negara.
Sebagai sebuah kekuatan sosial politik yang ada dalam infrastruktur ketatanegaraan, Fatwa MUI hanya mengikat dan ditaati oleh komunitas umat Islam yang merasa mempunyai ikatan terhadap MUI itu sendiri. Artinya, sebenarnya legalitas fatwa MUI pun tidak bisa dan mampu memaksa harus ditaati oleh seluruh umat Islam. Apalagi untuk memaksa dan harus ditaati oleh seluruh warga negara Indonesia.
Fatwa sendiri pada hakikatnya tak lebih dari sebuah pendapat dan pemikiran belaka. Dari individu ulama atau institusi keulamaan, yang boleh diikuti atau justru diabaikan sama sekali. Dalam membuat fatwa, harus ada beberapa metodologi yang harus dilalui. Yaitu, pertama, Fatwa tidak boleh taklid (mengikuti secara buta). Seorang ahli fatwa harus memenuhi syarat mujtahid dan syarat mujtahid dilarang mengikuti secara bulat mujtahid lain.
Kedua, fatwa tidak boleh melantur dari sikap hak asasi manusia yang diusung dalam Islam sejak awal. Hak tersebut yaitu antara lain hak untuk memeluk suatu agama dan mengikuti tafsir kelompok penafsir tertentu.
Ketiga, kebenaran fatwa bersifat relatif sehingga selalu dimungkinkan untuk diubah seiring dengan perubahan ruang, waktu dan tradisi. Keempat, Fatwa harus didahului dengan riset dan pendeskripsian yang memadai tentang satu pokok soal termasuk mengajak berdiskusi pihak-pihak terkait tentang apa yang akan difatwakan.
Jika dilihat secara kelembagaan, MUI dalam infrastruktur berada dalam golongan/kelompok kepentingan, lebih tepatnya kelompok kepentingan institusional (interest group instittusional). Golongan Kepentingan adalah sekelompok manusia yang bersatu dan mengadakan persekutuan karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu, baik itu merupakan kepentingan umum atau masyarakat luas, maupun kepentingan untuk kelompok tertentu saja.
Ada empat bentuk golongan kepentingan, yang masing-masing mempunyai ciri dan spesifikasi khusus, pertama interest group assosiasi, kedua adalah interest group institusional, ketiga interest group nonassosiasi, dan keempat interest group anomik.
Berdasarkan pada pengertian masing-masing bentuk dan spesifikasi tersebut, maka sebenarnya MUI adalah termasuk dalam interest group instittusional, yakni sebuah bentuk lembaga interest group yang pada umumnya terdiri atau terbentuk atas berbagai kelompok manusia yang berasal dari lembaga atau ikatan profesi atau institusi yang sebelumnya ada. Tujuan yang hendak dicapai adalah memperjuangkan kepentingan-kepentingan kelompok atau sebagian masyarakat yang menjadi anggota. Contohnya adalah kelompok-kelompok profesi, misalnya MUI, IKADIN, IDI dan IKAHI.
Dalam posisinya sebagai organisasi yang ada dalam kelompok kepentingan, maka fatwa yang dikeluarkan oleh MUI menjadi sebuah produk yang kontroversial dan banyak dihujani kritik. Terutama dalam posisinya yang vis a vis dengan hukum negara dan kepentingan masyarakat Indonesia.
Hukum negara bukanlah hanya Fatwa dari segelintir ulama atau pemuka agama semata. Apalagi jika kita kaitkan dengan konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hukum dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah hukum yang bersifat responsif, yang dalam proses pembuatanya partisipatif, yaitu mengundang partisipasi/keikutsertaan masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu dalam masyarakan. Jadi tidak hanya didominasi hanya oleh beberapa gelintir kelompok atau bahkan oleh mayoritas kelompok saja.
Dilihat dari fungsinya, produk hukum yang berkarakter responsif bersifat aspiratif. Artinya memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi dan kehendak masyarakat yang dilayaninya. Sehingga produk hukum itu adalah kristaliasi dari kehendak masyarakat.
Muara dari hukum responsif itu adalah strategi pembangunan hukum yang akan menghasilkan hukum yang bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok sosial dan individu dalam masyarakat, sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang majemuk, heterogen dan tentu saja, multycultural, sesuai dengan semboyan negara kita: Bhineka Tunggal Ika.
Dalam strategi pembangunan sebuah negara hukum berlandaskan hukum responsif tersebut, tidaklah diperbolehkan adanya kerancuan dalam arah pembangunan hukum. Adanya dualisme hukum, antara hukum positif suatu negara dengan fatwa (yang kemudian dianggap suatu hukum), akan menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat.
Masyarakat akan mendua dan bingung, mana yang akan diikuti dan ditaati, karena tidak adanya kepastian mana yang harus dituruti apakah hukum negara, ataukah keputusan dan fatwa para ulama? Tidak akan tercapai sebuah kemaslahatan tanpa kepastian hukum.
Untuk menjawab semua persoalan tersebut, negara (pemerintah) memang harus secara tegas memutuskan. Negara tidak harus dan perlu mengakomodir Fatwa MUI dalam hukum positif, karena sekali lagi bahwa hukum nasional kita adalah suatu hukum yang harus melindungi seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, dan seluruh warga masyarakatnya.
Karena Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah negara yang didirikan dengan dasar negara agama. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdiri untuk melindungi seluruh masyarakat yang terdiri dari semua suku, ras, golongan, agama dan lain-lain.
Dengan kata lain, apa yang disepakati sebagai Bhineka Tunggal Ika, oleh founding state harus dipertahankan jika ingin mempertahankan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
0 Komentar