Ada yang menarik saat penulis berkesempatan melakukan perjalanan dengan "kereta Odong Odong" Purwakarta-Jakarta Kota, yang tarifnya sangat murah, 6000 rupiah sekali perjalanan, pula nyaman dalam artian tidak kalah dengan tarif kereta yang dihargai ratusan ribu. Namun, sedikit menarik mendengar komentar penumpang di sebelah, saat kereta Argogede Jakarta Gambir-Bandung melintas.
"Tuh kereta orang orang kaya" ujar penumpang tersebut pada anaknya. Argogede yang juga salah satu moda transportasi rakyat dari PT Kereta Api, setidaknya dalam kasus ini mendapat cap kereta orang kaya. Ternyata, tiket kereta menunjukkan status sosial, dan orang orang tidak lagi berpikir tentang jarak tempuh yang lebih jauh, serta subsidi kepada jarak yang lebih pendek-menengah.
Lalu bagaimana kiranya pikiran mereka yang menggunakan moda transportasi rel yang murah, bila mendengar proyek Kereta Api Peluru, atau Shinkansen. Kabin kereta bagai dalam pesawat carteran, kursinya bagai kursi bioskop, pelayanannya menyaingi restoran, kereta para konglomerat kah? Atau semacam penanda status sosial terbaru, di mana kelas menengah hingga kelas ke bawahnya, sekedar membayar tiket Shinkansen bagai membeli tiket terusan tempat wisata. Menjadi kamar pas untuk selfie selfie baru, atau bahkan menjadi tempat objekan para politisi.
Maka tujuan transportasi untuk menggenjot pertumbuhan sebagaimana yang dicanangkan dalam falsafah Nawacita Presiden Joko "Jokowi" Widodo, lenyap seketika. Orang orang tidak pergi ke tujuan untuk kompetisi melawan waktu serta membereskan hambatan hambatan bisnis. Benda mahal bernama Shinkansen, untuk merangsang sekian banyak pebisnis, jatuh kelas menjadi sekedar badut atraksi.
Oleh karena itulah tidak heran apabila Presiden Joko Widodo membatalkan kesepakatan mahal tersebut. Bahkan Bloomberg View, dalam artikel terbarunya sedikit terkejut karena Jokowi punya nyali dan ternyata ada alasan cerdas dibalik nyali tersebut. Padahal penawaran baik dari China atau Jepang sangat menarik untuk negara sekelas Indonesia, dengan pinjaman lunak sepanjang 50 tahun, Indonesia digadang menjadi negara Asia Tenggara pertama yang memiliki kereta berteknologi tinggi yang prestisius. Bahkan sekelas, Amerika Serikat saja tidak memilikinya!
Kenapa Bandung?
Jokowi dalam penolakkannya memberi alasan Shinkansen kurang "komersial." Namun, penulis menengarai lebih dari sekedar komersial, Jokowi melihat hal jauh lebih penting lagi, yakni mengenai urgensi dan kota destinasi dari moda transportasi serba cepat ini.
Bandung memang kota terbesar ketiga di Indonesia, bahkan dengan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi sebesar 8.5 persen, di mana pada kwartal pertama saja berlangsung transaksi ekonomi senilai Rp 57,8 triliun. Data yang sangat bagus, namun darimana pertumbuhan tersebut berasal?
Walikota Bandung, Ridwan Kamil, adalah sosok penata kota yang memimpikan kejayaan Bandung sebagai kota kreatif, sebagai kota destinasi wisata, bahkan sebelum dirinya terpilih sebagai walikota, Kamil telah malang melintang membentuk komunitas Bandung sebagai kota paling kreatif. Sehingga segala kegiatan ekonomi di Bandung, terutama bersumber dari potensi wisata kota tersebut.
Bandung adalah tujuan orang Jakarta meremote diri dari segala kejenuhan penuh selama lima hari berkerja. Sehingga tidak heran Anda menemui kemacetan pada saat akhir pekan, di mana kendaraan plat B membanjiri kota Bandung, untuk berplesir melepas penat. Bisnis tanpa pembicaraan bisnis, itulah sejatinya Kota Bandung.
Akan halnya, ekonomi kreatif, di sisi lain adalah hal yang sangat baik, namun tidak berada dalam peta utama nawacita yang fokus pada dunia maritim. Jokowi pada akhirnya lebih mengharapkan pilihan transportasi kereta cepat tidak "dimubajirkan" untuk kelas menengah dan kelas atas Jakarta yang ingin sekedar refreshing ke Bandung, terlebih apabila pembangunan tersebut melalui skema penjaminan dan hutang. Tidak ada hutang untuk kelas atas.
Jokowi menuntut lebih dari para bawahannya, khususnya Menteri BUMN Rini Soemarno agar segala pembangunan infrastruktur mesti sejalan dengan visi maritim. Bandung adalah kota pegunungan, kota terpenting ketiga. Namun, jangan sampai pembangunan moda prestisius ini melewatkan kota terpenting kedua, yakni Surabaya.
Urgensi membangun shinkansen ke Surabaya pikir Jokowi, bukan saja masuk akal secara komersial, namun juga secara teknologi. Tentang bagaimana kereta dengan kecepatan 400 km perjam bisa dipacu maksimal ke kota yang yang berjarak hampir 1000 km dari Jakarta, dibanding sekedar sensasi "bagai angkot jarak dekat," 400 km dipacu menempuh jarak yang hanya 96 km belaka. Anda bisa bayangkan sendiri 15 menit dalam kereta dan mesti membayar taruhlah tiket 400 ribu rupiah. Anda punya waktu selfie 15 menit tentunya sangat tidak cukup, dan menggelikan.
Plus, Surabaya adalah salah satu nadi dari jalan tol laut, ya kita bicarakan tentang Tanjung Perak yang melayani rute segala logistik ke Indonesia Timur. Logistik bisa dikondisikan lewat lautan, namun para pebisnis sejauh ini mengandalkan pesawat untuk mencapai Indonesia Timur, atau sekedar transit di kota terbesar kedua tersebut. Dengan pembangunan kereta jalur cepat Jakarta-Surabaya, artinya pemerintah melakukanstretching komersial pada shinkansen. Mendudukan dengan benar potensinya.
Tidak heran, demi "menghibur" Jokowi meminta jarak Jakarta Bandung, dipenuhi oleh kereta kecepatan menengah yang bisa memangkas biaya pembangunan hingga 40 persen. Terlebih ada 8 stasiun yang akan dilewati pada jarak tersebut.
Pujian BloombergviewKeberanian Jokowi tulis Adam Minter, seorang traveller dan pengamat transportasi adalah terbaik untuk Indonesia. Jokowi bisa menjadi contoh para pemimpin negara berkembang Asia lain yang harus cermat membangun infrastruktur terlebih menghadapi bujukan negara negara pendonor yang ingin melepas uang pajak warga mereka untuk keuntungan politik dan ekonomi mereka sendiri.
Jokowi, tulis Minter, "Memiliki kemauan, dan pandangan sangat jernih dalam menolak proyek ketika proyek tersebut tidak memenuhi kebutuhan, dan ini sebenarnya sangat penting untuk memastikan kesehatan jangka panjang dari negara berkembang di Asia."
Minter melanjutkan China dan Jepang sudah pasti akan berisik dan terus mengusik bahwa ada nilai ekonomi dalam pembangunan shinkansen pada jangka pajang. Masuk akal, namun perhatikan pula dengan isu isu penting dibalik pembangunan ini. Yakni perusahaan pembangunan jaringan rel kereta di China sedang over kapasitas sejalan dengan melemahnya ekonomi negara tirai bambu tersebut. Apa solusi over kapasitas? Ya tentunya ekspor teknologi? Ke mana? Sejauh ini Indonesia yang menyambutnya.
Artinya China sedang sangat ngebet menjual isi gudangnya yang luber. Hal yang semestinya bisa menjadi kesempatan dari para negosiator Indonesia untuk main main dengan harga, bahkan jika perlu hingga ke titik nawar dedet, atau tawaran yang memojokan penjual untuk ikut dalam skema bisnis yang lebih menguntungkan negara pembeli.
Ibaratnya, pembangunan rel kereta cepat bagi Indonesia adalah plus, dan bagi china mengurangi negatif. Dari sinilah penolakan Jokowi dengan embel embel "perlu kajian lanjut" adalah cermin kecerdasan pedagang kelas kakap.
Lalu Jepang? Jepang, tulis Minter hanya bergerak pada sisi emosional. Mereka tidak mau China terlalu berpengaruh di Asia Tenggara, yang pada akhirnya mengucilkan potensi negara Matahari Terbit itu lebih jauh, terlebih ini mengenai Indonesia, mitra bisnis Jepang terkuat di kawasan. Maka tidak heran Jepang akan terus menguntit persaingan proposal pembanguan jalur kereta cepat ini dengan tawaran yang tidak kalah berani.
Namun, segala perang pengaruh dua negara ekonomi terbesar di Asia tersebut kandas di tangan tukang kayu dari Solo. Dan penolakannya, bisa menjadi basis sikap pemimpin negara berkembang lain untuk fokus pada pembangunan dengan rencana jelas. Walau bukan negara besar, beranilah ambil sikap untuk kepentingan negara sendiri.***Red (Bloomberg View)
"Tuh kereta orang orang kaya" ujar penumpang tersebut pada anaknya. Argogede yang juga salah satu moda transportasi rakyat dari PT Kereta Api, setidaknya dalam kasus ini mendapat cap kereta orang kaya. Ternyata, tiket kereta menunjukkan status sosial, dan orang orang tidak lagi berpikir tentang jarak tempuh yang lebih jauh, serta subsidi kepada jarak yang lebih pendek-menengah.
Lalu bagaimana kiranya pikiran mereka yang menggunakan moda transportasi rel yang murah, bila mendengar proyek Kereta Api Peluru, atau Shinkansen. Kabin kereta bagai dalam pesawat carteran, kursinya bagai kursi bioskop, pelayanannya menyaingi restoran, kereta para konglomerat kah? Atau semacam penanda status sosial terbaru, di mana kelas menengah hingga kelas ke bawahnya, sekedar membayar tiket Shinkansen bagai membeli tiket terusan tempat wisata. Menjadi kamar pas untuk selfie selfie baru, atau bahkan menjadi tempat objekan para politisi.
Maka tujuan transportasi untuk menggenjot pertumbuhan sebagaimana yang dicanangkan dalam falsafah Nawacita Presiden Joko "Jokowi" Widodo, lenyap seketika. Orang orang tidak pergi ke tujuan untuk kompetisi melawan waktu serta membereskan hambatan hambatan bisnis. Benda mahal bernama Shinkansen, untuk merangsang sekian banyak pebisnis, jatuh kelas menjadi sekedar badut atraksi.
Oleh karena itulah tidak heran apabila Presiden Joko Widodo membatalkan kesepakatan mahal tersebut. Bahkan Bloomberg View, dalam artikel terbarunya sedikit terkejut karena Jokowi punya nyali dan ternyata ada alasan cerdas dibalik nyali tersebut. Padahal penawaran baik dari China atau Jepang sangat menarik untuk negara sekelas Indonesia, dengan pinjaman lunak sepanjang 50 tahun, Indonesia digadang menjadi negara Asia Tenggara pertama yang memiliki kereta berteknologi tinggi yang prestisius. Bahkan sekelas, Amerika Serikat saja tidak memilikinya!
Kenapa Bandung?
Jokowi dalam penolakkannya memberi alasan Shinkansen kurang "komersial." Namun, penulis menengarai lebih dari sekedar komersial, Jokowi melihat hal jauh lebih penting lagi, yakni mengenai urgensi dan kota destinasi dari moda transportasi serba cepat ini.
Bandung memang kota terbesar ketiga di Indonesia, bahkan dengan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi sebesar 8.5 persen, di mana pada kwartal pertama saja berlangsung transaksi ekonomi senilai Rp 57,8 triliun. Data yang sangat bagus, namun darimana pertumbuhan tersebut berasal?
Walikota Bandung, Ridwan Kamil, adalah sosok penata kota yang memimpikan kejayaan Bandung sebagai kota kreatif, sebagai kota destinasi wisata, bahkan sebelum dirinya terpilih sebagai walikota, Kamil telah malang melintang membentuk komunitas Bandung sebagai kota paling kreatif. Sehingga segala kegiatan ekonomi di Bandung, terutama bersumber dari potensi wisata kota tersebut.
Bandung adalah tujuan orang Jakarta meremote diri dari segala kejenuhan penuh selama lima hari berkerja. Sehingga tidak heran Anda menemui kemacetan pada saat akhir pekan, di mana kendaraan plat B membanjiri kota Bandung, untuk berplesir melepas penat. Bisnis tanpa pembicaraan bisnis, itulah sejatinya Kota Bandung.
Akan halnya, ekonomi kreatif, di sisi lain adalah hal yang sangat baik, namun tidak berada dalam peta utama nawacita yang fokus pada dunia maritim. Jokowi pada akhirnya lebih mengharapkan pilihan transportasi kereta cepat tidak "dimubajirkan" untuk kelas menengah dan kelas atas Jakarta yang ingin sekedar refreshing ke Bandung, terlebih apabila pembangunan tersebut melalui skema penjaminan dan hutang. Tidak ada hutang untuk kelas atas.
Jokowi menuntut lebih dari para bawahannya, khususnya Menteri BUMN Rini Soemarno agar segala pembangunan infrastruktur mesti sejalan dengan visi maritim. Bandung adalah kota pegunungan, kota terpenting ketiga. Namun, jangan sampai pembangunan moda prestisius ini melewatkan kota terpenting kedua, yakni Surabaya.
Urgensi membangun shinkansen ke Surabaya pikir Jokowi, bukan saja masuk akal secara komersial, namun juga secara teknologi. Tentang bagaimana kereta dengan kecepatan 400 km perjam bisa dipacu maksimal ke kota yang yang berjarak hampir 1000 km dari Jakarta, dibanding sekedar sensasi "bagai angkot jarak dekat," 400 km dipacu menempuh jarak yang hanya 96 km belaka. Anda bisa bayangkan sendiri 15 menit dalam kereta dan mesti membayar taruhlah tiket 400 ribu rupiah. Anda punya waktu selfie 15 menit tentunya sangat tidak cukup, dan menggelikan.
Plus, Surabaya adalah salah satu nadi dari jalan tol laut, ya kita bicarakan tentang Tanjung Perak yang melayani rute segala logistik ke Indonesia Timur. Logistik bisa dikondisikan lewat lautan, namun para pebisnis sejauh ini mengandalkan pesawat untuk mencapai Indonesia Timur, atau sekedar transit di kota terbesar kedua tersebut. Dengan pembangunan kereta jalur cepat Jakarta-Surabaya, artinya pemerintah melakukanstretching komersial pada shinkansen. Mendudukan dengan benar potensinya.
Tidak heran, demi "menghibur" Jokowi meminta jarak Jakarta Bandung, dipenuhi oleh kereta kecepatan menengah yang bisa memangkas biaya pembangunan hingga 40 persen. Terlebih ada 8 stasiun yang akan dilewati pada jarak tersebut.
Pujian BloombergviewKeberanian Jokowi tulis Adam Minter, seorang traveller dan pengamat transportasi adalah terbaik untuk Indonesia. Jokowi bisa menjadi contoh para pemimpin negara berkembang Asia lain yang harus cermat membangun infrastruktur terlebih menghadapi bujukan negara negara pendonor yang ingin melepas uang pajak warga mereka untuk keuntungan politik dan ekonomi mereka sendiri.
Jokowi, tulis Minter, "Memiliki kemauan, dan pandangan sangat jernih dalam menolak proyek ketika proyek tersebut tidak memenuhi kebutuhan, dan ini sebenarnya sangat penting untuk memastikan kesehatan jangka panjang dari negara berkembang di Asia."
Minter melanjutkan China dan Jepang sudah pasti akan berisik dan terus mengusik bahwa ada nilai ekonomi dalam pembangunan shinkansen pada jangka pajang. Masuk akal, namun perhatikan pula dengan isu isu penting dibalik pembangunan ini. Yakni perusahaan pembangunan jaringan rel kereta di China sedang over kapasitas sejalan dengan melemahnya ekonomi negara tirai bambu tersebut. Apa solusi over kapasitas? Ya tentunya ekspor teknologi? Ke mana? Sejauh ini Indonesia yang menyambutnya.
Artinya China sedang sangat ngebet menjual isi gudangnya yang luber. Hal yang semestinya bisa menjadi kesempatan dari para negosiator Indonesia untuk main main dengan harga, bahkan jika perlu hingga ke titik nawar dedet, atau tawaran yang memojokan penjual untuk ikut dalam skema bisnis yang lebih menguntungkan negara pembeli.
Ibaratnya, pembangunan rel kereta cepat bagi Indonesia adalah plus, dan bagi china mengurangi negatif. Dari sinilah penolakan Jokowi dengan embel embel "perlu kajian lanjut" adalah cermin kecerdasan pedagang kelas kakap.
Lalu Jepang? Jepang, tulis Minter hanya bergerak pada sisi emosional. Mereka tidak mau China terlalu berpengaruh di Asia Tenggara, yang pada akhirnya mengucilkan potensi negara Matahari Terbit itu lebih jauh, terlebih ini mengenai Indonesia, mitra bisnis Jepang terkuat di kawasan. Maka tidak heran Jepang akan terus menguntit persaingan proposal pembanguan jalur kereta cepat ini dengan tawaran yang tidak kalah berani.
Namun, segala perang pengaruh dua negara ekonomi terbesar di Asia tersebut kandas di tangan tukang kayu dari Solo. Dan penolakannya, bisa menjadi basis sikap pemimpin negara berkembang lain untuk fokus pada pembangunan dengan rencana jelas. Walau bukan negara besar, beranilah ambil sikap untuk kepentingan negara sendiri.***Red (Bloomberg View)
6 Komentar
Namun, segala perang pengaruh dua negara "ekonomi terbesar di Asia tersebut kandas di tangan tukang kayu dari Solo." saya suka kutipan yang ini, tapi sejak kapan ya bandung jd kota terbesar ke tiga di indonesia?
BalasHapusSungguh luar biasa, Tukang Kayu dari Solo ini jenius dan Pro-Rakyat.Beliau berpandangan jauh ke depan melampaui para analis nasional umumnya.
BalasHapusPuji syukur kepada Tuhan pemberi Hikmat pada Jokowi.
(JSuparman)
Lebay
BalasHapusPenulis mungkin lupa bahwa gagasan awal KA supercepat justru datang dr Jokowi. Namun setelah datang penolakan2 dari masyarakat dgn santainya membataljannya. Yg kasihan menterinya yg sdh tetlanjur negoidasi dgn pihsk2 pembuatbya. Mencla mencle itu sebutan yg tepat utk Jokiwi yg pebting dia aman.
BalasHapusPenulis mungkin lupa bahwa gagasan awal KA supercepat justru datang dr Jokowi. Namun setelah datang penolakan2 dari masyarakat dgn santainya membataljannya. Yg kasihan menterinya yg sdh tetlanjur negoidasi dgn pihsk2 pembuatbya. Mencla mencle itu sebutan yg tepat utk Jokiwi yg pebting dia aman.
BalasHapusPenulis mungkin lupa bahwa gagasan awal KA supercepat justru datang dr Jokowi. Namun setelah datang penolakan2 dari masyarakat dgn santainya membataljannya. Yg kasihan menterinya yg sdh tetlanjur negoidasi dgn pihsk2 pembuatbya. Mencla mencle itu sebutan yg tepat utk Jokiwi yg pebting dia aman.
BalasHapus