Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli mengungkapkan bahwa bisnis impor garam di Indonesia dikendalikan hanya oleh 7 'pemain' yang disebutnya '7 begal garam' atau importir garam.
Sebanyak 7 begal garam ini ditudingnya 'membunuh' petani garam lokal dengan menggelontorkan garam impor saat masa panen garam lokal. Dengan begitu, para petambak 'mati' pelan-pelan, impor garam pun makin besar dan makin menguasai pasar garam di dalam negeri.
Menurut Rizal, '7 begal garam' ini bisa merajalela akibat penggunaan sistem kuota dalam penetapan impor garam. Dengan keuntungan yang luar biasa besarnya dari bisnis impor garam, begal-begal ini dapat menyuap para pejabat pemerintah agar kuota impor garam terus ditambah setiap tahun.
Rizal mengatakan cara paling ampuh untuk 'mengepret' para begal garam ini adalah dengan menghapus sistem kuota.
"Sumber masalahnya adalah sistem kuota (impor). Keuntungannya luar biasa, bisa dipakai untuk nyogok pejabat (supaya kuota impor ditambah)," kata Rizal dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (21/9/2015).
Rizal mengusulkan agar sistem kuota ini diganti saja dengan sistem tarif atau tarif bea masuk impor. Dengan sistem tarif, siapa saja bisa mengimpor garam asal membayar tarif bea masuk. Bila tak ada sistem kuota, maka peluang permainan dalam penetapan kuota otomatis hilang. Para pejabat pun mau tak mau mengawasi peredaran garam impor.
"Kalau kita ganti (sistem kuota) dengan sistem tarif, (importir) nggak bisa sogok (pejabat) lagi, maka mau nggak mau pejabat mengawasi (peredaran garam impor)," paparnya.
Selain menghancurkan praktek kartel, penggunaan sistem tarif juga memberikan penerimaan tambahan untuk negara. Uang yang diterima negara dari tarif impor garam ini bisa dipakai untuk membantu petambak garam lokal.
"Kami minta ke Menkeu penerimaannya (dari tarif impor garam) nanti dipakai untuk perbaikan garam rakyat," tutup Rizal.
0 Komentar