Membutuhkan waktu 7 jam dan butuh 5 orang dokter dan 2 perawat untuk mengobati luka kecelakaan yang hanya perlu 1 jahitan. Pekerjaan yang bisa diselesaikan oleh seorang dokter dalam waktu kurang dari 15 menit jika berobat di klinik atau rumah sakit swasta. Ironisnya semua dokter selalu menanyakan pertanyaan yang sama seperti yang ditanyakan dokter pertama seperti kena apa, kejadiannya bagaimana, yang sakit sebelah mana, apa yang dirasakan, dll lalu untuk apa dokter pertama menulis hasil pemeriksaan pasien, kalo dokter selanjutnya tidak mau membaca laporan pemeriksaannya?
Pada hari selasa, 30 Juni 2015 Sekjen Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) mengalami kecelakaan ketika berusaha menghidupkan tombol AC yang tidak bisa dinyalakan dengan remot. Tiba-tiba kursi yang diinjaknya roboh dan terpelanting sehingga dagunya menimpa meja. Pada awalnya tidak begitu dirasa karena hanya terasa nyeri di dagu dan sedikit pusing. Selanjutnya mandi dan tidur untuk menghilangkan rasa pusing. Masalah mulai dirasakan ketika bangun tidur menjelang berbuka puasa karena dagu mulai membengkak dan ternyata mengeluarkan darah meskipun sedikit serta terasa ada potongan gigi yang tergigit. Setelah di raba dan diambil satu per satu ditemukan 7 kepingang gigi geraham. Pada saat berbuka puasa baru dirasakan kesulitan dan kesakitan dalam mengunyah. Untuk itu Kapten Sar (Motivator Otak Kanan) segera mengantarkan ke Rumah Sakit terdekat dengan tujuan untuk Ronsen agar diketahui kondisi apakah ada cidera tulang rahang.
Rumah Sakit terdekat dari Taman Pelem Lestari adalah RSUD Cengkareng. Datang ke IGD pukul 19 WIB menjelah Sholat Tarawih, bertemu dengan dr. Yurika Aprilia dan diminta untuk mendaftar terlebih dahulu di loket pendaftaran. Sejak awal kami datang menyampaikan bahwa kami hanya ingin ronsen untuk mengetahui kondisi tulang rahang karena kami tahu lukanya tidak seberapa. Setelah mendaftar baru diperiksa oleh dr. Yurike yang menanyakan penyebab kecelakaan dan apa yang dirasakan. Setelah diperiksa lalu ditulis di kertas laporan lalu ditumpuk tanpa tindakan lanjutan dan kami disuruh menunggu. 1 jam kami menunggu lalu kami tanya kapan dilakukan tindakan, kami disuruh menunggu saja dengan alasan kamar IGD nya sedang penuh. 2 jam kami menunggu bertanya lagi kapan akan ditangani disuruh menunggu lagi dengan alasan mendekati jam 9 pergantian shift dokter. Hingga jam 10, kami lihat dokter-dokter pada ngrumpi tanpa ada yang menangani pasien.
Baru jam 10.30 malam ada dokter baru laki-laki yang memanggil pasien-pasien yang sudah diperiksa oleh dr. Yurike. 3 jam menunggu justru membuat kepala semakin pusing dan pingin istirahat. Berobat bukannya mencari kesembuhan justru menambah sakit. Tiba giliran kami dipanggil dokter perempuan yang tidak teridentifikasi, meminta untuk duduk di kursi roda dan menunggu lagi. Sekitar 1/2 jam duduk di kursi roda tanpa di apa-apain. Kapten Sar protes yang akirnya baru ditangani oleh seorang perawat laki-laki yang kemudian memasang jarum infus dan memberikan obat penghilang rasa sakit. Penanganannya pun cukup dilakukan di kursi roda tidak perlu masuk ke ruang tindakan IGD sebagaimana yang dibilang dr. Yurika bahwa ruang tindakan sedang penuh maka tidak bisa dilakukan penanganan. Dokter selanjutnya meminta kami untuk menunggu antrian ronsen dan kami pun menuruti. Satu jam berikutnya kami tanya antraian kami nomor berapa dan masih berapa orang lagi? Namun dokter tidak memberikan jawaban yang memuaskan kecuali tunggu saja nanti kan dipanggil.
Satu jam berikutnya kami tanyakan lagi masih berapa orang lagi dan di jawab dengan jawaban yang sama tunggu saja nanti dipanggil. Lalu kami tanyakan dimana ruang ronsen dan dijawab di lantai 2 lalau dengan tidak sabar Kapten Sar pergi naik ke lantai 2 dan masuk ke ruang rosen. Ajaibnya di duang ronsen tidak ada satupun orang yang mengantri dan petugas ronsen nya pun sedang bersantai ria. Ketika ditanya lagi ada yang ronsen tidak? dijawab tidak ada. Ada permintaan ronsen dari IGD tidak dijawab tidak ada. Lalu dengan menahan marah Kapten Sar kembali menemui dokter yang meminta untuk menunggu ronsen dan dijawab bahwa petugas ronsennya cuma satu orang dan sudah mengajukan ke pemda tetapi tidak dikabulkan. Setelah disangkal Kapten Sar dan dijelaskan bahwa di atas tidak ada yang sedang ronsen, juga tidak ada yang mengantri, jawabannya karena tidak ada petugas yang membawa pasien ke ruang ronsen. Kami jawab bahwa saya bisa jalan sendiri tidak harus di bawa baru kemudian di tunjuk seorang perawat untuk mengantarkan ke ruang ronsen.
Proses ronsen hanya butuh waktu kurang dari 10 menit kemudian kembali ke IGD.
Setelah hasil ronsen diamati oleh dokter dan disimpulkan bahwa tidak ada masalah dengan tulang rahang maka diminta untuk menyelesaikan pembayaran di kasir selanjutnya ambil obat, dan pengobatan sudah selesai. Kami pun protes karena lukanya tidak di apa-apain padahal mengeluarkan darah. Paling tidak di perban kek atau dikasih betadin kek. Baru disuruhnya perawat untuk membersihkan luka. Setelah dibersihkan baru dilihat lagi oleh dokter dan diminta agar dijahit 1 jahitan. Kembali kami harus menunggu lama sambil bergumam tukang jahitnya belum ada kali, ketika kami tanya kapan akan dijahit, dijawab bahwa sedang dicari benangnya.
Tibalah giliran menjahit jatuh pada dr. Alexandra yang mengantar bersama seorang perawat masuk ke ruang tindakan dan barulah dijahit dengan 1 jahitan entah benang apa yang digunakan karena dari percakapan dokter dan perawat, dokter menanyakan ini benang apa? Dokter kok gak tau jenis benang yang dipegangnya. Dr. Alexandra pun masih bertanya kok bisa ada luka disini bagaimana kejadiannya? Saya itu susah bicara karena rahang sakit kok masih ditanya-tanya melulu dengan pertanyaan yang sama. Perawat berpesan bahwa 3 hari lagi benang bisa dicabut tapi tidak harus di rumah sakit ini, bisa ke rumah sakit lain atau klinik. Dalam hati saya gak mungkin lah kesini lagi bisa nunggu 7 jam lagi hanya untuk mencabut benang.
Akhirnya jam 02 pagi urusan dengan RSUD Cengkareng selesai dari mulai masuk jam 7 malam. Alama 7 jam menunggu dan belum makan karena buka puasa hanya bisa minum, belum bisa makan. Setelah diberi obat penghilang rasa sakit baru bisa makan karena tidak terasa sakit ketika membuka mulut dan mengunyah.
Inilah pengalaman pertama dan terakhir berurusan dengan rumah sakit plat merah yang menggunakan sistem ban berjalan seperti mesin dimana setiap tindakan dilakukan oleh orang yang berbeda. Saya heran di RSUD Cengkareng terpampang sertifikat ISO 9001:2000 tapi pelayanannya sangat buruk. Apa karena pakai sistem ban berjalan itukah yang di sertifikasi ISO?
Sertifikatnya saja yang ISO tapi pelayanannya Ora ISO. Ra iso melayani masyarakat.
Enak sekali tugas dokter di RSUD karena hanya bertanya dan mencatat sedangkan tindakan dilaksanakan oleh perawat atau dilempar ke dokter lain. Kalau satu mata rantai tidak ada ya biarin aja mandeg nunggu petugas yang bersangkutan ada meskipun tugasnya hanya menunjukkan dimana ruang ronsen. Tidak ada kepedulian terhadap penderitaan pasien, maka tidak heran malam itu ada pasien yang meninggal dunia karena kecelakaan, mungkin karena tidak segera ditangani atau dokternya lempar-lemparan tugas.
Satu lagi keanehan dari seorang pasien yang sudah di tangani tetapi masih merasakan adanya pecahan kaca didalam tangannya. Meskipun sudah di perban, pasien meminta agar pecahan kacanya dikeluarkan terlebih dahulu.
Salah siapa pelayanan yang buruk sperti ini ? Apakah salah Jokowi? Padahal kami relawan berjuang membela nama baik Jokowi, presiden yang telah kita pilih.
0 Komentar